Cara cucu Rasulullah menasehati orangtua
Sayidina Hasan dan Sayidina Husain suatu ketika melihat seseorang sedang berwudhu. Sayangnya, cara wudhu orang tersebut tidak sempurna, tidak sesuai dengan tuntunan agama.
Kedua cucu baginda Nabi SAW yang tengah beranjak remaja itu pun berpikir tentang cara mengoreksinya secara bijak. Mereka tak ingin menyinggung dan berharap pesan nasehatnya dapat diterima dengan lapang dada.
Salah seorang dari keduanya akhirnya mengatakan kepada orang tersebut, ”Wahai paman, saya dan saudara saya beda pendapat mengenai siapa di antara kami yang paling benar dan bagus cara wudhunya. Kami minta tolong paman untuk menilai kami, siapa yang terbaik wudhunya!”
Orang itu setuju. Hasan dan Husain lantas berwudhu sementara ia memperhatikan satu persatu dengan seksama, disertai rasa kagum akan cara wudhu dua anak dimaksud. Saat itu, ia beruntung karena mendapatkan pelajaran praktik dari kedua anak itu. Pelan-pelan kesadarannya tumbuh bahwa ia telah melakukan kesalahan.
Setelah Hasan dan Husain selesai “lomba berwudhu” tiba saatnya untuk menentukan pemenangnya. ”Wudhu kalian berdua sangat istimewa,” kata orang itu sembari tersenyum seolah mengucapkan terima kasih.
Tidak ada pemenangnya. Memang tujuannya bukan untuk mencari pemenang.
Apapun situasinya, nasihat-menasihati merupakan prinsip esensial dalam Agama.
Sayangnya prinsip ini semakin luntur, karena banyak orang yang “berat” menasihati orang lain dan banyak pula orang yang merasa “berat” untuk menerima nasihat.
