*HINDARI DURI -DURI SILATURAHMI*
*“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.”
(Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)
Bersilaturahmi atau bersilaturahim disaat Hari Raya Idul Fitri alias Lebaran sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di negeri tercinta ini. Seluruh anggota keluarga, tua-muda, kakek-nenek, oom-tante, Pakde-Budhe, anak-ponakan-serta cucu menghiasi perhelatan keluarga setahun sekali ini.
Namun seringkali di hari yang Fitri ini ada *“duri dalam silaturahmi”*, pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan yang kadang terlontar, disadari tidak disadari bisa merusak prestasi dan reputasi yang kita raih di Bulan Ramadhan kemarin.
Tanpa kita sadari, sering, ajang silaturahim yang seharusnya menjadi perekat persaudaraan, dinodai oleh kalimat-kalimat yang bermaksud “membangun” dan “menyadarkan”, namun berubah menjadi kalimat yang terasa “menyakiti hati” dan bikin baper.
Sehingga seringkali beberapa diantara kita justru menghindari ajang silaturahim setahun sekali ini. Sayang sekali khan kalau ada saudara kita yang menghindar karena takut diomongin atau ditanyai pertanyaan yang “horor”.
Apa saja “Duri dalam silaturahmi ini”?
*1. Membanding-bandingkan*
“Kamu kok belum lulus? Adik sepupumu saja sekarang sudah S2.”
“Kok anakmu sekolah di situ sih? anakku di sekolah favorit donk”
“Kamu sudah hapal berapa juz? Kok belum juga, lihat si A, dia sudah hapal 5 juz lho…”
“Kamu dapat rangking berapa di kelas?”
[Membanding-bandingkan satu pribadi dan pribadi yang lain terasa menyakitkan terutama bagi insan yang sedang berada pada posisi di bawah, lagipula apa keuntungan membanding-bandingkan ini? Bukankah Allah Azza Wa Jalla menciptakan setiap manusia unik dan berbeda?]
*2. Menanyakan hal pribadi*
“Kapan nikah, ingat lho umurmu kamu sudah kepala 3?”
“Mana calon kamu? Masih jomblo juga nih?”
“Saat ini kamu belum kerja juga?”
“Kamu belum punya anak juga, sudah berusaha kemana saja?”
“Kenapa masih kerja di tempat itu, kok ndak cari yang lebih baik?”
“Wah, kerja di situ khan gajinya kecil, kok kamu mau aja sih? Jangan mau diperbudak gitu”
[Pertanyaan yang bersifat pribadi, sebaiknya dibicarakan dengan cara pribadi (empat mata), pada saat yang khusus, bukan pada saat kumpul keluarga. Dan bukankah hal seperti di atas lebih baik diganti dengan kalimat lebih positif seperti: “Bagaimana ikhtiarmu saat ini, sudah ada kemajuan? Semoga Allah merahmati dan meridhoi ikhtiarmu ya…”]
*3. Bertanya atau mengomentari seputar tubuh*
“Ih, kok kamu kelihatan gendutan sekarang…..” {Uhhhh makjleb banget……}
“Ih, kamu sekarang kok botak dan kurus…..” { Uhhhh makjleb 2}
“Duh, si kasep ini….hidungnya kemana ya…..” { Uhhhh makjleb 3}
“Ini adiknya kok lebih besar dari kakaknya ya….”
“Kok adiknya kulitnya gelap, ndak seperti Kaka dan Mbaknya….”
“Ya Allah…ini sepatumu atau perahu, jempol mu gede banget seperti bet ping-pong”
“Kamu semakin cantik deh, rahasianya apa nih?” {hati-hati lho, kadang ini pertanyaan jebakan yang bisa membuat kita terkesan sombong dan meremehkan orang lain jika jawabannya kurang tepat}
(Berhati-hatilah mengomentari tubuh orang lain, bukankah ini semua adalah ciptaan Allah semata? Kalau kita berkomentar miring, bukankah berarti kita “mengkritik Sang Maha Pencipta”)
*4. Meremehkan prestasi orang lain.*
“Ah, si A lebih hebat lagi {dari kamu} dia sudah lulus, lalu lanjut S2 dan S3 di luar negeri”
“Iya lho, kamu harus belajar dari si B, dia bisa membangun bisnis nya sendiri tanpa bantuan orang tua, kalau kamu….masa sih masih mendompleng dengan ortu-mu”
“Wah kok kerja sudah lebih dari 15 tahun, kamu kemana-mana masih pakai motor saja?’
“Nastar buatanmu oke sih, cuma buatan Kakakmu itu lebih enak dan renyah…”
[Merendahkan lawan bicara tidaklah akan mengangkat derajat kita, justru jika kita sedang menjatuhkan reputasi diri sebagai orang yang sombong. Ingat lho, orang yang merendahkan orang lain biasanya juga sedang menyembunyikan kelemahan dirinya sendiri]
*5. Menanyakan {jatah} oleh-oleh*
“Wuih, ada orang jauh, oleh-olehnya mana ? aku kok belum dapat?”
“Wah, masak ke sini cuma bertangan kosong aja, mau ikutan makan-makan ya….?”
[Bukankah dengan berusaha datang untuk bersilaturahim harus mengeluarkan daya upaya serta ongkos yang seringkali tidak kecil? Atau saudara kita itu memang sedang dalam kondisi berkekurangan. Sebaiknya kita doakan saja saudara kita yang datang : “Alhamdulillah, terima kasih kamu sudah datang, semoga Alloh merahmati upaya kita semua…”]
*6. Ghibah -membicarakan kekurangan orang lain*
“Eh, tahu gak, si D itu sekarang sedang gonjang-ganjing dengan suaminya lho…katanya karena orang ke-3.”
“Dia tuh sudah lama di PHK, katanya sih menyalahgunakan jabatan, lihat aja deh penampilannya sekarang tuh…..”
“Ih, iya, kita bukan ngomongin orang lho, biar jadi pelajaran buat kita semua…”
“Dia memang sok alim sekarang, biasaaaa menutupi dosa-dosa masa lalu…masak kamu gak tahu…..”
“Katanya sih dia nikah karena kecelakaan…tuh lihat aja perutnya sudah sebesar itu, padahal khan baru dua bulan nikah….”
“Wuih, bajunya bagus banget, tapi tahu gak, aku khan kenal penjahitnya, kata penjahitnya sih belum lunas tuh…..”
[Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Alloh Maha Penerima tobat, Maha Penyayang (Q.S. Al Hujuraat 49: 12)
*Lalu sebaiknya apa pertanyaan dan percakapan yang dilakukan saat silaturahim?*
Tentunya percakapan yang manfaat, membangun, menunjukkan rasa saling cinta yang tulus, saling mendukung, saling mendoakan, serta berhati-hati sebagaimana orang bertakwa menjaga lisan dan perilakunya seperti pertanyaan yang pernah dilontarkan salah seorang kepada Sahabat Rasulullah, yaitu Abu Hurairah r.a. “Apa arti takwa itu?” Lalu beliau berkata: “Pernahkah engkau bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu?”.Orang itu menjawab:”Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tidak ada durinya atau aku langkahi, atau aku mundur”, Abu Hurairah menjawab: “Itulah dia takwa!”
(HR Ibnu Abid Dunya)
*”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”
(Q.S. Al Hujuraat 49: 11)
*“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih)*
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”
Semoga kita menjadi lebih baik dan bermanfaat.
*Robbana Taqobbal Minna*
Ya Allah terimalah dari kami (amalan kami)
Aamiin Yaa Robb
😊❤👍
📝 Grup Majlis Ilmu
*Semoga bermanfaat 🌺*
