Dakwah yang Kau Sebut Ribet

*Dakwah, dan Segala Sesuatunya Yang Kau Sebut RIBET*

Oleh: *Muhammad Syukri*,
Penikmat Dakwah Kampus

Sebut kata *RIBET*, lalu rangkai dengan jenis kelamin, maka kau akan temui sosok "perempuan" (muslimah) muncul pertama kali, mengungguli laki-laki (muslim).

Mau mulai dari mana?

Aurat? Dari atas sampai bawah, semuanya aurat bagi perempuan, yang otomatis harus mereka tutup. Hanya tersisa dua telapak dan satu muka. Itu saja masih ada yg menutupnya hingga bawah mata.

*RIBET* kan!

Laki-laki? Kau lepas baju ala2 Jojo atau Prabowo, asal pusar sampai lutut kau tak bisa dilihat mata manusia, kau aman.

Apa lagi?
Oh iya. Hamil. Betapa ribetnya orang hamil. Sembilan bulan nahan sakit, yang makin hari makin sakit. Awal kehamilan mual2 tak tertahan, akhir kehamilan ada nyeri yg tak terperi. Bahkan tidur pun harus atur posisi dg sangat hati2. Dikit2 ke kamar mandi. Begitu mau lahiran, nyawa yang jadi taruhannya. Habis lahiran, nyeri ga ilang2, jalan juga masih sempoyongan.

*RIBET* kan!

Laki-laki? Boro2 hamil. Palingan juga sunat. Setengah jam udah putus, 3 hari sembuh, seminggu udah bisa maen bola. Atau manjat pohon kelapa.

Jadi kesimpulannya: Perempuan itu *RIBET*. *Banget*. Titik.

Kenapa harus begitu? Karena Allah ingin *kemudahan* bagi perempuan.

Kok bisa?
Begini. Kita ini kuliah. Dari hari pertama ospek kita sudah dikasih tugas. Tugasnya banyak. Dan *RIBET*. Sampai semester terakhir pun, kita dapat tugas. Disuruh bikin skripsi. *RIBET* kan? Biar apa? Ya biar lulus. Kita gausah repot2 mikir gimana caranya biar lulus. Cukup selesaikan ke- *RIBET*-an itu dengan baik, dan kau akan lulus. Gampang, kan?

Perempuan begitu juga. Sama Allah dikasih aturan, mungkin terasa *RIBET*. Asal mereka jalani ke- *RIBET*-an itu dg baik, dan Allah ridho, dia masuk surga.

Jadi sebenarnya, *RIBET* nya perempuan itu *sangat memudahkan* mereka.  Mereka nggak perlu mikir lagi gimana caranya biar masuk surga. Cukup jalani dengan baik ke- *RIBET*-an itu sampai Allah ridho, maka surga bagi mereka.

Dunia dakwah kita juga sama. *RIBET*. Ada aturannya. Dari mulai jam malam, atau akhwat yang gaboleh pulang malam-malam. Atau ini, yg mau sedikit saya bahas: ga boleh ikhtilath (becampur baur ikhwan-akhwat).

Sampai2 ada yg bilang, *"meh koncoan ae ndadak nganggo aturan"*.
Sampai2 ada yg komplain, *"ameh foto bareng wae raoleh. Ikhwan kudu foto dewe, raoleh cedak-cedak karo akhwat2.e"*.
*RIBET* to? Sakpol.e!

Sempat kami adukan komplain-an ini ke senior dakwah kampus kami. Kata beliau,

_Sejak dulu, sekian banyak cara kita lakukan dalam agenda2 dakwah kita, agar tidak terjadi  ikhtilath._

_Sekian tempat kita cari, agar kalau syuro bisa ada hijabnya. Bahkan mushola kecil di ujung gang sempit pun, yg kalau kesana motornya harus dituntun, kita jabanin juga._

_Sekian lembar MMT dan kain panjang kita koleksi, meski warnanya udah ga karuan lagi. Agar acara2 di tempat yg tak berhijab pun, kita tetap bisa pakai hijab._

_Para takmir, pagi-pagi sekali, saat dia sendiri belum mandi, rela angkat2 hijab utk kajian. Agar kajiannya berhijab._

_Hijab yang bukan hanya sebagai fungsi, tapi juga simbol. Simbol yg bisa bicara. Yg selalu mengatakan pada kita "Kau terhijab dengan dunia di depanmu, karena kerja2mu bukan untuk mereka. Jaga keikhlasanmu!"_

_Hijab yang awalnya memang hanya sebentang kain di depan mata, namun semoga benar2 menjadi penghijab kita dg fitnah dunia: harta, tahta, wanita._

Iseng2 saya tanya, "kenapa harus se- *RIBET* itu?"

Sambil tersenyum beliau berkata,
_Kalian itu kader2 unggulan. Apa kalian lupa dg itu? Kami hanya ingin memperlakukan kalian sebagaimana harusnya kalian diperlakukan. Salahkah jika sang raja diperlakukan layaknya raja? Atau kalian memang sudah bosan menjadi kader2 unggulan?_

Pada akhirnya saya sadar, aturan dakwah yang *RIBET* itu sangat memudahkan kita utk tercetak menjadi kader2 unggulan. Maka kalau kita tak lagi nyaman dg segala ke- *RIBET*-an ini, kita mau diperlakukan seperti apa?
Come on. Kalian adalah pemuda-pemudi terbaik di jalan ini, maka bersikaplah demikian!

Wallahua'lam.